Tentang Jagung dan MRC

Jagung merupakan komoditas pertanian strategis masa depan penghasil karbohidrat. Permintaan jagung baik untuk pangan maupun pakan terus meningkat seiring peningkatan populasi global. Posisi jagung sebagai pangan strategis antara lain karena jagung adalah salah satu komoditas pertanian stimulator inflasi. Kenaikan harga jagung akan diikuti oleh kenaikan harga pakan ternak. Hal ini berpengaruh secara signifikan pada biaya usaha ternak sehingga sangat logis jika pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga beragam produk peternakan seperti daging dan telur. Lebih jauh, kenaikan harga daging dan telur akan menyebabkan efek domino peningkatan harga seluruh produk turunan pangan olahan yang menggunakan daging dan telur sebagai bahan baku.

Pohon industri jagung sangat luas. Seluruh bagian tanaman jagung dapat dimanfaatkan.Daun jagung dapat digunakan untuk pakan ternak dan produksi kompos.Bagian buah jagung terdiri dari kelobot, biji jagung dan tongkol. Ketiga bagian inipun memiliki manfaat ekonomi. Kelobot jagung sudah lama dipakai sebagai bahan baku pakan, kompos dan industri rokok. Biji jagung pipil secara langsung maupun tak langsung merupakan bahan baku pakan ternak, pangan olahan dan digunakan secara luas dalam berbagai industri, antara lain menjadi sirup,gula rendah kalori dan tepung maizena. Lembaga biji jagung diproduksi menjadi minyak jagung. Tongkol jagung diolah lanjut selain sebagai pakan ternak,kompos, pulp, arang, bahan bakar,ditepungkan untuk pakan ternak, juga diproduksi menjadi pentosa yaitu bahan baku furfural. Bagian batang daun jagung menjadi hijauan pakan ternak alternatif yang disukai terutama di musim kemarau.

Saat ini suplai permintaan jagung Indonesia dipenuhi dari produksi nasional dan impor. Produksi domestik hingga saat ini masih belum dapat memenuhi permintaan dalam negeri. Sebagaimana komoditas pertanian pada umumnya, pola panen jagung berfluktuasi tergantung pada musim. Di sisi lain struktur permintaan atas komoditas ini cenderung meningkat sepanjang tahun. Luas panen jagung merupakan salah satu komponen penting produksi jagung. Peningkatan luas panen jagung selama periode 2012-2016 meningkat signifikan. Hal ini mengindikasikan upaya serius pemerintah untuk memperluas areal panen jagung terutama dengan memanfaatkan lahan yang sementara ini belum dikelola optimal, seperti lahan kebun, pekarangan dan hutan, melalui Program UPSUS PAJALE.

Berdasarkan data BPS pada periode 2012-2016 sentra produksi jagung tedistribusi di sepuluh provinsi  di Indonesia. Kontributor luas panen jagung nasional tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur (30,73%) disusul kemudian oleh Jawa Tengah (13,9%), Lampung (8,49%), Sulawesi Selatan (7,79%), Nusa Tenggara Timur (6,61%), Sumatera Utara (5,79%), Jawa Barat (3,85%), Gorontalo (3,72%) dan Nusa Tenggara Barat (3,54%). Meskipun Jawa Timur merupakan provinsi kontributor luas panen terbesar untuk produksi jagung domestik namun pertumbuhan luas panen menunjukkan pertumbuhan negative sebesar 0,5% per tahun. Hal ini mengindikasikan kompetisi antar komoditas yang tinggi antara jagung, padi, tebu dan ubi kayu. Ditinjau dari produksinya, Provinsi Jawa Timur juga menjadi kontributor terbesar produksi nasional yaitu mencapai 32,06% (Chafid, Nuryati, Waryanto, Akbar, & Widianingsih, 2016). Ketika luas panen cukup sulit untuk ditingkatkan, pilihan peningkatan produksi umumnya jatuh pada implementasi pertanian intensif. Pengembangan teknik budidaya yang menjamin utilisasi sumberdaya secara berkelanjutan serta perakitan teknologi benih menjadi tantangan yang harus dijawab melalui kegiatan riset.

Konsumsi jagung nasional pada level rumahtangga dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan fluktuatif tapi rata-rata meningkat sebesar 1,02% per tahun. Konsumsi jagung sebagai substitusi bahan pangan pokok memang semakin menurun. Konsumsi jagung rumahtangga saat ini  telah bergeser ke jagung manis, bukan sebagai pengganti pangan pokok beras, namun sebagai sayuran atau diolah menjadi berbagai jenis pangan. Dengan kata lain, peran jagung dalam program diversifikasi pangan pokok masyarakat Indonesia belum berhasil sebagaimana diharapkan. Food habit merupakan kecenderungan pola konsumsi yang sulit diubah. Diperlukan rancang bangun social engineering yang efektif dan diimplementasikan secara simultan, bila di masa mendatang jagung diharapkan dapat meminimalkan angka ketergantungan masyarakat Indonesia pada pangan pokok tunggal yaitu beras. Riset aksi yang berorientasi pada pengembangan program, rekomendasi kebijakan dan desain strategi untuk mengubah food habit berbasis jagung di masa mendatang, membuka peluang luas kerjasama riset multidisipliner.

Permintaan jagung saat ini justru meningkat secara signifikan untuk industri pakan sebesar 3,3% per tahun. Permintaan jagung dalam negeri untuk industri non makanan mengalami peningkatan dari 3,67 juta ton pada tahun 2011, menjadi 4,32 juta ton pada tahun 2012 dan 4,79 juta ton pada tahun 2013. Pada tahun 2014, permintaan jagung untuk industri non makanan kembali meningkat sebesar 4,88 juta ton. Meskipun jumlah total permintaan jagung meningkat, pertumbuhan permintaan jagung dalam negeri untuk industri non makanan terus menurun. Hal ini menunjukkan pertumbuhan industri pakan ternak sudah mulai jenuh. Selain itu kadar aflatoxin jagung domestik yang dihasilkan petani melebihi batas ambang yang ditetapkan sehingga banyak industri pakan menolak, dan menggantikan bahan baku dengan jagung impor.Solusi berbasis riset untuk produksi jagung dengan kadar aflatoxin minimal juga perlu dijawab melalui riset aksi multidisipliner yang tidak saja melibatkan peneliti dari perguruan tinggi namun melibatkan partisipasi komunitas petani, praktisi dan unit kerja pemerintah terkait serta pihak industri.

Secara umum perkembangan harga rata-rata jagung pipilan baik di tingkat produsen maupun konsumen menunjukkan kecenderungan meningkat. Perkembangan harga jagung pada lima tahun terakhir periode tahun 2011-2015 mengindikasikan harga jagung naik signifikan dengan margin sekitar Rp 1.164-2,686 per kg. Harga jual tingkat konsumen yang cukup tinggi ini sebagai dampak meningkatnya biaya transportasi akibat kenaikan harga bahan bakar dan semakin tingginya distorsi transportasi akibat disekuilibrium sarana jalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang pada akhirnya mengganggu sistem distribusi. Sementara itu harga jual di tingkat produsen yang lebih rendah mengindikasikan tidak cukupnya insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas atau elastisitas transmisi harga dari konsumen ke produsen kecil, sehingga petanilah yang harus menanggung perbedaan harga di tingkat konsumen dan produsen. Diperlukan riset di bidang sosial ekonomi untuk memberikan rekomendasi strategi kebijakan harga, pemasaran, efisiensi rantai pasok dan mekanisme insentif produksi yang relevan.

Volume impor jagung pada periode 2000-2004 selalu di atas 1 juta ton, sementara pada tahun 2005-2009 kurang dari 1 juta ton, kecuali pada tahun 2006 (1,77 juta ton). Selanjutnya pada periode 2011-2015 volume impor jagung selalu lebih besar dari 3 juta ton. Tingginya impor jagung diduga disebabkan oleh defisit produksi jagung nasional.  Pada tahun 2016 hingga bulan Mei volume impor jagung Indonesia adalah 880 ribu ton. Rendahnya volume impor ini disebabkan adanya pelarangan impor jagung oleh Pemerintah RI dengan tujuan agar produksi jagung dalam negeri dapat terserap oleh industri pakan. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan pelarangan impor. Oleh karena itu kualitas dan kuantitas produksi jagung domestik perlu ditingkatkan. Maize Research Center (MRC) adalah salah satu pusat studi di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UB yang mendedikasikan riset inovatif di bidang produksi jagung dari hulu hingga hilir. Di masa mendatang MRC diharapkan dapat berkontribusi secara nyata pada pengembangan produksi jagung di Indonesia sebagaimana visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan.